Pemandangan di Desa Wisata Kampung Naga (photo:pinterest.com) |
KLIKDESTINASI.COM-Pariwisata adalah sektor industri yang seksi dan bernilai tinggi. Di Indonesia sendiri, pariwisata menjadi peringkat kedua penyumbang devisa setelah minyak dan gas. Hal ini dikatakan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,Sandiaga Uno dalam berbagai forum diskusi .
Dalam berbagai kesempatan lainnya, Sandiaga Uno menyatakan jika pemerintah akan menargetkan 4,4 juta lapangan pekerjaan dari sektor pariwisata dan ekonomi kreatif dengan konsep 3G (gercep,geber dan gasspol).
Salah satu sektor pariwisata yang terus didorong adalah pembangunan desa wisata. Berbagai perangkat perundangan dan dasar hukum disiapkan dalam tatanan legislasi.
Bagi pemerintah dan masyarakat di daerah yang memiliki potensi desa wisata hal ini berita baik dalam konteks membangun kualitas ekonomi masyarakat desa. Namun perlu diingat bahwa tidak semua wilayah desa memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi desa wisata. Ada beberapa point penting yang harus dipahami masyarakat desa mengenai definisi,konsep dan kriteria dasar mengembangkan desa wisata.
Desa wisata secara terminologi didefinisikan sebagai suatu wilayah adminsitratif yang memiliki potensi dan keunikan daya tarik yang khas,berbasis kearifan lokal. Dengan kata lain,wisatawan yang berkunjung ke wilayah tersebut merasakan pengalaman yang unik tentang tradisi masyarakat desa dengan segala potensinya tersebut.
Dengan kata lain, memang harus ada embrio yang menjadi ciri khas masyarakat tersebut sebelumnya yang kemudian dikembangkan. Jadi bukan membangun sesuatu yang dipaksakan yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari ciri khas tatanan sosial dan budaya masyarakat tersebut.
Berkenaan dengan fenomena pembangunan desa wisata , tim klikdestinasi.com berkesempatan mewawancarai seorang praktisi hospitality berpengalaman lebih dari dua puluh lima tahun di bidang hospitality dan juga pengajar pada prodi manajemen pariwisata salah satu perguruan tinggi swasta di Garut dan Bandung , Ivi D.Sunardi Amd,Par.SE.MM.CPT atau yang akrab dipanggil Kang Ivi.
Menurut Ivi,membangun desa wisata harus merujuk setidaknya lima prinsip pengembangan produk desa wisata yaitu orisinalitas,aktifitas keseharian masyarakat,peran aktif masyarakat di desa wisata,sistem dan pranata sosial yang dianut dan dijaga,dan kepedulian terhadap lingkungan,
"Membangun desa wisata sifatnya harus sustainable bukan short-term gain. Setidaknya dapat merujuk kepada
konsep Tridaya, yaitu daya ekonomi, daya sosial dan daya lingkungan," demikian menurut Ivi
Lebih lanjut,Ivi menjelaskan yang dimaksud daya ekonomi adalah apa yang menjadi potensi ekonomi khas di desa tersebut yang dapat dikembangkan sehingga memiliki daya jual tinggi melalui proses yang efektif dan efisien. Dan potensi ini memang sudah sejak dulu ada dan melekat dalam tata nila kehidupan masyarakt desa tersebut, bukan sesuatu yang diada-adakan demi mendapatkan nama desa wisata.
Misalnya di desa tersebut mempunyai potensi pohon kawung (Ind:aren) yang banyak. Pohon ini ijuknya bisa diolah untuk atap, kemudian buahnya dapat diolah menjadi kolang kaling. Hasil itu dapat mendorong daya dukung ekonomi masyarakat. Sedangkan aktifitas pengolahan dapat menjadi daya tarik untuk dikemas menjadri atraksi wisata yang dapat "dijual" menjadi kesatuan paket wisata.
Kemudian yang dimaksud daya sosial adalah kemampuan hubungan antra individu dalam masyarakat desa tersebut sesuai dengan norma dan kearifan lokal, adat,istiadat dalam menunjang pariwisata.Kunjungan wisatawan ke daerah atau desa wisat tidak merubah pola interaksi antar manusi,namun justru saling menguatkan menjadi pola yang lebih efisien dan produktif.
Contohnya kehadiran wisatawan ke desa wisata yang melakukan ritual budaya atau upacara adat tertentu,justru memperkuat pola interaksi antara pengunjung dan warga setempat yang menimbulkan keingintahuan wisatawan akan budaya setempat. Maka harus hadir di dalamnya seorang tokoh dan pemandu wisata yang memahami aspek buday dan latar belakang sejarah yang sifatnya edukatif.
"Daya lingkungan adalah kemampuan sosial masyarakat desa wisata tersebut menjaga lingkungan agar tetap lestari. Artinya orientasi terhadap pentingnya memelihara ekosistem menjadi bagian dari pola kehidupan sehari-hari,"imbuh mantan senior hotelier ini.
Beberapa desa wisata dan kampung adat di Indonesia, kemampuan masyarakat desa untuk memelihara lingkungan umummnya dipengaruhi oleh pengetahuan,norma dan tata nilai masyarakat yang bersumber dari ajaran leluhur dan keyakinannya.
Nilai-nilai ini menjadi bekal untuk memperkuat dalam meningkatkan pengembangan desa wisata ke depan.
Menurut Kang Ivi, masih ada aspek-asepek lain yang harus diperhatikan dalam menilai suatu desa layak atau tidak masuk dalam kategori desa wisata,yaitu :
- Adanya sistem kepengurusan masyarakat yang tertata
- Kontribusi sosial untuk menjaga kualitas lingkungan
- Partisipasi aktif masyarakat desa dan wisatawan atau pengunjung
- Adanya jasa pramuwisata yang kompeten dan berkualitas
- Kualitas akomodasi,misalnya homestay atau guest stay, makanan-minuman yang disajikan dan kinerja penunjang lainnya yang berkualitas
Dalam tatanan birokrasi, pembangunan desa wisata mau tidak mau akan bersinggungan dengan kepentinga lintas sektoral, misalnya Dinas Pariwisata dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa. Maka sinergitas lintas sektoral ini menjadi hal penting dalam menyatukan visi dan misi utama dari pembangunan desa wisata itu sendiri untuk kepentingan masyarakat desa itu sendiri.
"Masing-masing stakeholder itu punya ranah tupoksinya, jalankan saja on the track fokus pada tujuan besarnya. Jika bersinggungan dengan konteks pariwisata nya kembalikan kepada spirit pariwisata itu sendiri" lanjutnya.
Intinya ,ini adalah era kolaborasi maka penting bagi para stakeholder untuk mendorong tujuan besar pembangunan destinasi wisata berkelanjutan,bukan lagi bicara pada tatanan yang sifatnya pragmatis,"pungkas Ivi mengakhiri pembicaran(*).